Title : WHITE rose DAY
Author : Teko a.k.a Riri
Genre : Romance, angst
Starring : the Gazette
Pairing : Reita and Ruki
Disclaimer : they aren't mine but I’m the own of this story line.
Summary : “Happy White Day... Ruki chan..”
Aku tau ini terlalu awal untuk mengucapkannya, tapi jika menunggu hari itu.. aku tak akan bisa mengatakannya langsung padamu, sebab di hari itu aku pasti sudah tidak bisa disisimu lagi, my dearest Ruki..
-------------------------------------------------------------------
“Reita san.. apa anda sudah minum obat pagi ini?” sontak suara suster itu membangunkanku dari lamunan tentang Ruki. “A.. kau mengagetkanku. Ya aku sudah meminumnya” ku tolehkan wajah ke arah meja kecil tepat disisi ranjang yang kutempati saat ini. Disana ada makanan, buah dan beberapa obat yang harus ku lahap setiap pagi dan malam. Ditambah satu buah lemari kecil dibawah meja itu untuk meletakan persediaan cairan infus.
Rumah sakit.. Ya itulah dimana saat ini aku berada.
Karena penyakit yang kuderita, aku harus berada disini sampai saatnya tiba. Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan dengan keadaan seperti ini tapi aku merasa ini tidak akan lama lagi.
Kanker otak..
Penyakit itu kutukan untukku. Mengapa aku yang dipilih mendapatkan penyakit itu? Apa aku berbuat kesalahan di masa lalu? Ya.. hanya penyesalan yang ada saat ini. Namun aku bukan Tuhan yang bisa mengatur semuanya, inilah yang terjadi pada diriku saat ini. Rasa sakit yang teramat sangat kadang datang hingga aku tak dapat menahannya, di sisi lain aku tidak dapat memperlihatkan ini pada orang yang ku cintai, Ruki.
Aku tidak ingin dia mengetahui seberapa buruknya keadaanku saat ini. Setiap ia datang, aku selalu memberikan senyuman seperti biasanya walaupun dibalik senyuman itu aku menahan rasa sakit ini. Aku tidak ingin membuatnya sedih. Seberapaun aku berusaha melawan semuanya namun ada saatnya aku merasa kalah hingga menitikkan air mata saat aku membayangkan jika aku tidak ada disisinya lagi. Saat itu aku tidak bisa lagi merasakan sentuhan kulit halusnya, kecupan hangat bibirnya, dan aku tidak lagi bisa mendengar kata-kata dari mulutnya yang kadang ia ingin aku manjakan. “Aku merasa lega bisa memilikimu seutuhnya, Ruki..”
“Reita san, anda melamun?” untuk kedua kalinya dipagi ini suara suster itu mengagetkanku. “ah, tidak. Aku hanya sedikit khawatir pada kondisiku, akhir-akhir ini kepalaku lebih sering sakit dan lebih sakit daripada minggu-minggu sebelumnya. Apa waktuku tidak lama lagi?” praaang.. seketika suster itu menjatuhkan salah satu vas bunga yang ada di samping jendela. “Reita san, kau tak perlu khawatir mungkin ini adalah efek dari kemoterapi yang sedang kau jalani. Saya yakin anda kuat menjalani ini semua. Oh ya ada seseorang yang menunggumu diluar dan aku tau ini orang yang penting untukmu. Akan aku tinggalkan kalian berdua.” Tap tap tap tap.. suara langkah itu seraya menghilang.
Ckleeek.. –suara pintu terbuka
“Reita kun, ohayou..” sapa pemuda mungil itu dengan segenggam bunga yang selalu ia bawa setiap kali mengunjungiku. “Hari ini aku membawakan bunga baru agar kamarmu menjadi segar” ia melanjutkan ucapannya sambil sibuk mengganti bunga yang lama dengan bunga yang ia bawa. Ya itu membuat kamar ini menjadi lebih segar, atau mungkin karena ia ada disini sekarang.
“Ruki.. apa kau tidak lelah setiap hari datang kesini?” tanyaku namun ia masih sibuk mengganti bunga untuk diletakan di sisi ranjangku. “kau ini sedang bicara apa sih, mana mungkin aku lelah.” –menarik napas panjang “aku akan terus menemanimu sampai kau sembuh dan aku akan terus menjagamu, tak akan kubiarkan kau sendirian disini” Ruki pun menggenggam erat tanganku. Tangan ini begitu mungil dan hangat, kulitnya pun sangat halus membuat aku ingin selalu disentuhnya. Andai saja aku bisa terus menggenggam erat tangan ini hingga tua nanti.. pasti itu akan sangat menyenangkan kan, Ruki..
“Reita kun, mengapa kau menangis?” gawat, tiba-tiba saja aku menitikkan air mata didepannya. “ah tidak tidak, ini adalah air mata kebahagiaan karena aku bisa memilikimu sampai sekarang. Jadi kau tak perlu khawatir ya karena aku akan berusaha agar segera sembuh dan menepati janjiku padamu saat White Day nanti” dalih aku mengatakan hal mustahil itu untuk membuat Ruki tenang. Entah aku berdosa atau tidak karena aku menjanjikan lagi suatu hal yang tak mungkin bisa aku lakukan untuknya pada hari itu. “un.. Reita kun arigatchuu~” –chuu kecupan itu mendarat di bibirku, bibir mungilnya membuat aku ingin membalasnya lebih dalam.
-----------------------------------------------------------------
Rasa sakit ini..
“Aaakh.. sensei!! Aku tidak tahan lagi! Rasa sakit ini membuat kepalaku terasa pecah!!!” teriakku pada dokter yang selama ini menanganiku. Saat ini aku pikir aku tidak bisa lagi menahannya lagi. Seketika aku melihat Ruki duduk di sofa yang jauh dari jangkauanku, isak tangisnya membuatku lebih merasa sakit, tidak hanya dikepala tapi juga dihati. Ruki.. tolong jangan menangis lagi.. Batinku.
Lalu aku tak tau apa yang terjadi dengan diriku saat selanjutnya, rasanya tenang.. tak terdengar suara apapun, mungkin dokter telah menyuntikkan obat penenang padaku.
Ckleeek..
“Reita san, anda sudah siuman? Tadi Ruki san bilang padaku bahwa ia akan keluar sebentar untuk membeli seuatu, aku pikir mungkin ia membeli makan sebab sejak pagi hingga sore tadi ia berjaga disini, memastikanmu agar tidak terjadi apa-apa” ucap suster itu yang siap untuk mengambil darahku. “souka.. suster, boleh minta tolong? Aakh itai..” sontakku saat jarum runcing itu menembus kulitku. “ kau ingin minta tolong apa, Reita san? Katakan saja” suster itu membereskan alat suntik yang tadi dipakai untuk mengambil sample darahku. “Jika saat White Day aku sudah tidak ada disini, bisa kah anda memberikan bunga mawar putih yang ku tanam di taman belakang rumah sakit ini 1 bulan yang lalu? Karena aku tidak bisa bertahan hingga hari itu, bisa kah anda melakukannya?”
Maaf Ruki aku tidak bisa menepati janjiku padamu.. umpat sesalku dalam hati.
-----------------------------------------------------------------
Tubuhku semakin hari semakin melemah, alat-alat kedokteranpun banyak digunakan untuk menopang kerja organ tubuh ini yang tak lagi bisa bekerja dengan baik. Di sofa itu orang yang sangat berharga untukku tertidur pulas, tergoreskan wajah sedih, lelah dan putus asa namun masih tersirat penuh harap dalam wajah mungilnya itu, entah bagaimana melukiskannya yang jelas itu membuatku sedih melihatnya. Maafkan aku, Ruki..
“A, Reita kun.. kau sudah bangun?” dengan segera ia bangkit setelah ia menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari sini. Dengan tergulai lemah aku terus menatapnya. “Apa kau butuh sesuatu? Kau ingin minum? Atau makan? Biar aku buka gorden dan jendelanya biar kau bisa menghirup udara segar ya.” Aku pun tak menjawab apapun, aku hanya menggenggam lemah tangan mungilnya itu, menghentikannya agar ia tetap berada disampingku. Aku tak kuasa menatap wajahnya namun aku harus mengatakan apa yang harus aku katakan saat ini sebelum terlambat.
“Ru-ki-chan.. –dengan terbata-bata aku berusaha untuk mengatakannya. H-hap-py White D-day.” Suaraku tertahan. “ta-tapi.. White day kan masih lusa, Reita kun.” Ucapnya dengan sedikit bingung. Aku terus menarik napas panjang, “Aku tau ini terlalu awal untuk mengucapkannya, tapi jika menunggu hari itu.. aku tak akan bisa mengatakannya langsung padamu, sebab di hari itu aku pasti sudah tidak bisa disisimu lagi..” dengan suara yang semakin melemah dan bulir airmata yang terus mengalir aku bisa menyelesaikan kata-kataku. “Rei, apa kau tega meninggalkanku sendiri? Kau pasti bisa melawan ini semua!” –dengan suara yang terus meninggi ia tetap melanjutkan kata-katanya dan tak kalah dengan ku, air matanya pun tak sanggup ia bendung. “Maafkan aku, Ruki..”
------------------------------------------------
March 14..
“Ruki san.. bisa bicara sebentar?”
“suster? Ada apa?”
“ini..”
Ruki sangat terkejut melihat apa yang suster itu bawa. “Mawar putih? Untuk apa ini suster?”
“ini adalah bunga yang ditanam Reita san di pekarangan belakang rumah sakit ini. Ia memintaku untuk memberikannya padamu sebagai hadiah White Day. Sebulan yang lalu ia menanamnya tanpa sepengetahuanmu karena ia ingin memberikan kejutan untukmu.”
Ruki pun tidak dapat berbicara apapun, ia hanya menggenggam mawar itu dan mendekapnya bersama dengan air matanya yang tak bisa ia tahan hingga mengalir deras.
“Bunga yang cantik. Rei.. Terimakasih
Aku mencintaimu..”