Sabtu, 16 Februari 2013

[FF] Dear My Teacher

Title : Dear My Teacher

Author : Teko a.k.a Riri

Genre : romance, lovey dovey

Rate : PG 13

Starring : alice nine, vistlip *just a bit

Pairing : shinji x takashi, tora x saga

Status : OneShot

Warning : don’t read it if you dislike



Douzo~ ^_^



Summary : Disekolah hubungan kami memang guru dan murid tapi di luar, hubungan kami lebih dari itu…



===============



Dentingan jam telah berbunyi sekitar 10 menit yang lalu, tapi belum tampak ada guru yang memasuki kelasku. Dengan headset di telinga, aku mendengarkan alunan musik klasik dari mp3 yang ku genggam. Ku melihat rintik-rintik air yang menetes dari langit , membasahi semua yang ada tanpa terhalang oleh apapun.



Rintikan air itu berkumpul menjadi satu dan jatuh teratur melewati jendela kaca kelas. Membuat kaca tersebut berembun. Aku membulatkan mulut dan meniupkan udara ke kaca itu lalu mengusapnya hingga terlihat jelas keadaan diluar yang sedang dibasahi air hujan. Dibawah sana terlihat seseorang berlari ditengah hujan yang tidak terlalu deras namun juga tidak terlalu ringan.



Aku menyipitkan mata, memfokuskan siapa orang yang sedang berlari di halaman sekolah namun aku tidak tau pasti siapa dia. Orang itu terlihat asing, aku tidak pernah melihatnya disekolah ini sebelumnya. Perawakannya tinggi, kira-kira sekitar 182cm dengan rambut hitam pekat. Mengenakan setelan jas yang serba hitam dan membawa tas kantor yang basah kuyup, sama seperti dirinya.



Bel telah lama berlalu tapi guru yang seharusnya mengajar tetap tak kunjung datang. Tapi sudahlah, aku tidak peduli lagipula aku masih lelah dan mengantuk karena semalaman harus begadang untuk membantu paman di kedai kecilnya di pasar. Setiap dini hari aku harus bangun dan membantu paman untuk berjualan ikan di pasar tetapi sebelumnya aku harus mengambil dan mengangkut ikan-ikan tersebut dari kapal para nelayan.



Sejak kecil aku memang sudah diasuh dan tinggal bersama paman. Ibuku telah meninggal dan ayahku pergi bersama wanita lain dan meninggalkanku sendiri, hingga akhirnya pamanku lah yang mengasuhku. Aku harus membantu paman, karena hanya paman yang ku punya di dunia ini.



Derap langkah dan suara pintu yang terbuka membuyarkan semua lamunanku. Langkah kaki itu perlahan masuk secara teratur, membuat suasana kelas menjadi hening dari kegaduhan semula. Ternyata ia adalah Nao-sensei, guru bahasa inggrisku. Tapi tunggu?.. ada seorang lagi yang jalan perlahan memasuki kelas setelah Nao-sensei. Dia … bukankah dia orang yang tadi ku lihat di halaman yang berlari-lari dibawah hujan tanpa payung atau apapun yang bisa ia pakai untuk menjaga tubuh dan pakaiannya agar tetap kering. Mengapa orang asing itu ikut masuk ke kelasku? Gumamku.



Pria dengan tinggi sekitar 182cm dengan rambut hitam pekat dan warna bola mata yang sama dengan rambutnya kini berada di depan kelasku. Aku merasa bola mata hitam itu menatapku, tatapan yang aneh, ku merasa tatapan itu tak asing bagiku. Dalam benakku, aku seperti mengenali tatapan itu. Mungkinkah kami pernah bertemu sebelumnya? Ah.. kurasa ini hanya dejavu, mungkin aku memang kelelahan. Aku pun menghiraukan tatapan itu dan mengalihkan arah pandanganku pada Nao-sensei yang sedang memulai membuka mulutnya untuk berbicara sesuatu.



‘Ehem..’ –ia mendehemkan tenggorokannya agar suaranya terdengar dengan jelas. ‘Maaf, saya telat untuk masuk kelas ini..’ –ia melirik ke arah arloji ditangan kanannya. ‘Saya ingin menyampaikan sesuatu.. ‘ –sekali lagi ia berdehem dan menatap para murid didepannya secara silih berganti. ‘Mulai hari ini saya tidak mengajar di sekolah ini lagi..’ –seketika kata-kata itu membuat para murid terkejut tak terkecuali diriku sendiri yang terpaku mendengar kalimat itu.



‘Karena aku dipindah tugaskan ke prefektur lain, jadi beliaulah yang menggantikanku untuk mengajarkan kalian..’ –ia melanjutkan kalimatnya dan menepuk bahu orang asing yang sejak tadi berada disampingnya.’ Namaku Amano Shinji… ‘ –orang asing itu mulai memperkenalkan dirinya pada semua murid yang ada didalam kelas. Senyum manis terukir di wajah tampan orang itu. Kilap rambut hitamnya terlihat karena hujan yang membasahinya di luar sana. Setelan jas, sepatu bahkan tas nya pun terlihat basah. ‘Maaf, tadi saya kehujanan, jadi penampilan saya mungkin terlalu buruk sekarang..’ –sambil menepuk-nepuk jasnya dan senyum manisnya terus mengembang di wajah tampan itu.



‘baiklah, saya harus pergi sekarang..’ Nao-sensei keluar dari kelas dengan langkah tegasnya. Sepertinya ia sedang terburu-buru. Dan sekarang hanya ada Shinji-sensei yang berada didepan kelas. Canggung. Mungkin itu yang ia rasakan saat ini. Tapi itu tak berlangsung lama. Ia lalu memberikan materi pelajarannya, yaitu pelajaran bahasa inggris tentunya.



‘okay now let’s begin to study!’ Shinji-sensei mulai meletakkan tasnya dan mengambil kapur tulis untuk menulis sesuatu di papan tulis. Entah apa yang ia tulis, aku tidak memperhatikan apa yang ia tulis, aku terus memperhatikan dirinya lekat-lekat. Hujan yang mengguyurnya tadi tak bisa membuat dirinya terlihat buruk. Mungkin itu karena ia benar-benar tampan.



Rasa penasaranku seakan memburu dan membuatku semakin tertarik untuk terus memperhatikannya. Tatapan tajamnya dengan bola mata yang hitam pekat membuat ku semakin tertarik dan sangat penasaran. Aku yakin, bahkan sangat yakin aku pernah melihat tatapan seperti itu sebelumnya.



============



Takashi’s POV



‘saga.. tolong kau angkut ikan-ikan di kapal nelayan itu’ ucap paman umi yang juga sibuk membawa ikan-ikan dari kapal nelayan yang lain. Saga adalah nama panggilanku, aku tidak ingin orang lain memanggil dengan nama asliku, Takashi. ‘baik paman..’ aku segera lari ke kapal nelayan itu. ‘paman, aku saga, kemenakan paman umi, ia menyuruhku untuk mengambil ikan-ikan dari kapal paman’ ucapan itu keluar dari mulutku, entah apalagi yang harus ku katakan, ini pertaman kalinya aku membantu paman mengangkut ikan.



‘kau saga? Aku pikir kau peremuan! Dirimu sangat manis dan cantik!’ aku hanya tersenyum polos mendengar kata-kata itu dari mulut paman nelayan itu –aku tidak tau siapa namanya. ‘paman.. ikannya..’ aku langsung ingat tujuanku untuk datang kemari, yaitu mengambil ikan. Wajah paman itu terlihat aneh, seperti menyembunyikan sesuatu ketika ia melihatku. ‘oh.. hampir saja lupa! Ini..’ paman itu menyerahkan 1 peti besar yang berisi ikan-ikan yang baru saja ia tangkap.



‘apa kau kuat mengangkat peti itu sendirian, anak cantik?’ tangan kasar dan besar paman itu menyentuh pipiku, membuatku terjingkat merasakan sentuhan itu. ‘A..aku kuat kok paman, ka..kalau begitu te..terima kasih, aku pergi dulu’ –dengan tergagap ku segera meninggalkannya dan membawa se-peti ikan. Mengapa paman itu menatap seperti ingin memangsaku? Apa aku terlihat mirip perempuan seperti yang ia katakan?



Saat itu aku memang masih kecil, kira-kira usiaku masih 8 tahun. Aku berlalu berjalan sambil membawa peti ikan yang besar namun entah ada apa tiba-tiba aku tersandung sesuatu dan peti yang kubawa pun ikut menimpaku. Aku sudah membayangkan jika aku benar-benar terjatuh bersama peti ikan yang kubawa. Aku memejamkan mata dan berteriak, seketika sebuah tangan menahanku agar aku tetap seimbang. Ku pikir aku tengah bermimpi, sebuah tangan yang sangat hangat menopang tubuhku, menjaga ke-eksistensianku agar tetap stabil.



Malaikat, gumamku. ‘kau tidak apa-apa?’ kalimat itu keluar dari pita suara pemilik tangan hangat tadi, membuat sistem kerja otakku berhenti. Membeku seketika. ‘kau baik-baik saja?’ sekali lagi ia bertanya. Mataku terbelalak, menolehkan kepala dan tubuh kearah yang berlawanan dan mendapati seorang pemuda tampan yang menatapku penuh kekhawatiran, tatapan cemasnya sangat terlihat di bola mata hitamnya. Ku lihat, usia tidak terpaut jauh.

Mata kami saling berpandangan, lurus tanpa ada yang menghalangin. Untuk pertama kalinya aku melihat tatapan dari bola mata hitam yang begitu indah. Sungguh aku terpesona akan dirinya.



Takashi’s POV –END





=============



Shinji’s POV



Aku melihat seorang anak yang begitu cantik dengan tergesah-gesah berjalan membawa sebuah peti besar yang penuh dengan ikan segar dan es batu. Karena sesuatu yang ia injak tubuhnya terdorong kedepan, keseimbangannya mulai goyah, seketika aku lari dengan cepat ke arahnya. Anak itu berteriak. Alhasil, aku menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.



‘kau tidak apa-apa?’ kata-kata itu tiba-tiba saja terucap dari mulutku. Ia tetap diam tak bergeming. Sekali lagi ku bertanya pada anak itu. Tubuhnya terasa bergetar. Wajahnya yang cantik itu memucat. Terlihat shock. Kupikir ia adalah anak perempuan. Parasnya sangat menawan. Cantik dan kulitnya putih, mulus tanpa cacat sedikitpun. Benar-benar cantik.



Ini pertama kalinya aku melihat anak cantik itu ditempat seperti ini. Bibir merahnya yang tipis, semakin membuatnya seperti anak perempuan. Dengan rambut coklat tua, sangat cocok dipadukan oleh bentuk parasnya yang terbilang panjang dan bola mata coklat terangnya itu. Perpaduan yang indah. Tatapannya yang terkejut dan lemah membuatku merasa khawatir.



Aku memang baru pertama kali bertemu dengannya, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam diriku yang seakan memaksaku untuk menjaganya. Aneh. Memandangnya, semakin membuatku merasa cemas. Dan untuk beberapa menit yang terasa begitu lama, kami saling bertatapan.



Shinji’s POV –END



==============



Hah.. hari ini sekolah terasa lebih melelahkan, terlebih lagi karena sensei itu. Jam berapa ini? Gawat! Sudah jam 8 malam. Perpustakaan umum disamping stasiun pasti sudah tutup. Sepertinya aku harus ke perpustakaan lain yang ada di stasiun Oyogi sekarang, gumamku. Aku pun berjalan menuju stasiun untuk menuju stasiun Oyogi, ketika itu sekilas aku melihat orang yang mirip dengan Shinji-sensei disebuah kafe.



Orang itu terpaku pada laptop didepannya, jari-jemarinya sibuk menari-nari di atas keyboard, matanya lurus kearah desktop dengan sebuah kacamata yang bertengger diatas batang hidungnya yang mancung, seakan ia hafal dimana letak alphabet, angka, berbagai macam ikon dan simbol yang ada di keyboard laptopnya. Dengan secangkir cappuchino yang hangat setia berada disampingnya, menunggu hingga sang pemiliknya habis meminumnya.



Aku masih terdiam di beranda kafe, memperhatikan sambil menyipitkan mata kearahnya. Merasa diperhatikan, orang itu mendongakkan kepalanya dan tangannya melambai-lambai kearahku. Aku terkejut karena ia menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya merasa malu dan seketika wajahku merah, udara pun terasa panas. Sangat gugup hingga aku tidak tau apa yang harus kulakukan.



Tangan itu terus melambai, menyuruhku untuk masuk dan ia pun menepuk-nepuk kursi kosong disampingnya. Aku masih merasa gugup, seperti terhipnotis, kakiku melangkah masuk mendekati orang itu, aku tidak bisa menghentikan dan mengendalikan tubuhku sendiri.



‘kau… takashi kan?’ ucap orang itu ketika aku benar-benar berada tepat didepannya. ‘i.. iya sensei’ aku kini semakin gugup. Wajah tampan itu kini berada tepat dihadapanku. ‘duduklah! Pesan sesuatu agar perutmu tidak kosong’ ucapnya singkat dan langsung berpaling menatap laptopnya lagi dan asik memainkan jari-jemarinya di keyboard. Aku segera duduk di kursi yang sudah tersedia sejak tadi, dengan wajah yang masih memerah, aku memesan secangkir coklat panas. Aku terus memerhatikan shinji-sensei, ia sangat serius dengan benda yang ada dihadapannya itu, mungkin ia sedang sibuk dengan perkerjaannya hingga ia tidak menghiraukan cappuchinonya yang sudah tidak panas lagi.



Sudah satu jam lebih aku menemaninya tanpa berani berbicara sepatah-kata pun padanya. Ia masih tetap bergelut pada laptopnya. Ku melirik kearah jam dinding yang ada di kafe, ternyata sudah menunjukkan ke angka sepuluh. ‘se..sensei, aku harus segera pulang, sudah jam sepuluh’ ucapku ragu dengan suara pelan agar tidak terlalu mengganggunya. ‘baiklah, tunggu sebentar lagi. Aku akan mengantarmu pulang.’ Shinji-sensei pun segera menyimpan semua pekerjaannya dan mematikan laptopnya serta tak lupa meneguk cappuchinonya yang sudah dingin lalu bersiap-siap untuk keluar dari kafe itu. ‘sensei, aku pulang sendiri saja’ aku beranjak berdiri dari kursi yang semula kududuki. ‘anak cantik tidak baik berjalan sendiri malam-malam’ ia menarik tanganku menuju arah parkiran, tangannya yang satu sibuk merogoh-rogoh kedalam jas lalu ia mengeluarkan sebuah kunci mobil dari saku jasnya.



============



‘itu rumahku!’ aku menunjuk kesebuah rumah mungil yang berwarna putih dengan pagar kayu.



CIIIIIIITTTT..



Ia menghentikan mobilnya tepat didepan pagar rumahku. ‘terima kasih sensei, hati-hati dijalan’ aku menundukkan kepala sebagai ucapan terimakasih padanya karena sudah mengantarku pulang. Rumahku tampak gelap, karena paman sedang ikut dengan para nelayan agar bisa menghasilkan ikan yang banyak hingga ia harus bermalam disana.



Aku terperanjat kaget karena aku lupa mengambil kunci rumah diloker sekolah. Aku sibuk merogoh saku dan mengacak-ngacak isi tasku namun kunci itu tetap tidak ada. Bagaimana ini? Desahku. Aku tidak memperhatikan, ku kira shinji-sensei telah pergi namun melihatku kebingungan hingga mengeluarkan isi tasku, ia membuka pintu mobil dan berjalan menghampiriku. ‘ada apa?’ tanyanya. ‘kunciku tertinggal di loker’ jawabku singkat dengan nada putus asa. ‘malam ini mau tidur ditempatku?’



============



‘ini apato ku, maaf jika berantakan’ ia membuka dan menyalahkan lampu apatonya. ‘malam ini kau tidur saja disini’ –ia menunjuk sebuah kamar. ‘terima kasih, sensei. Maaf jika aku merepotkan’ –aku kembali gugup. Ia hanya tersenyum dan meninggalkanku ke ruangan lain. Senyumannya sangat tulus, dia benar-benar orang baik. Ia mau mengajakku ketempatnya, padahal baru tadi pagi kita berkenalan dan sekaligus ia adalah guruku disekolah.



Sudah tengah malam, aku merasa haus. Aku membuka pintu kamar untuk mengambil minum. Aku terkejut karena shinji-sensei ternyata belum tidur dan ia masih sibuk dengan laptopnya, seperti yang ia lakukan saat di kafe. ‘sensei belum tidur?’ –aku berjalan mendekati sensei yang sibuk mengerjakan sesuatu. ‘Ah.. takashi! Kau belum tidur? Aku sedang menulis laporan untuk kepala sekolah’ –ia menoleh sesaat dan kembali bergelut dengan laptopnya. ‘aku haus, ingin mengambil minum.



‘Apa sensei ingin kubuatkan teh hangat?’ –tawarku, melihatnya begadang hingga larut malam membuatku ingin melakukan sesuatu untuk membalas kebaikannya. Aku melanjutkan jalan ke dapur untuk mengambil minum dan membuat teh hangat untuk sensei. Kasihan, dia pasti lelah, gumamku. ‘ini teh nya sensei’ aku menyodorkan secangkir teh hangat kepadanya. ‘terima kasih, cepat kau kembali tidur’ ucapnya setelah ia melirik ke arah teh yang ku buat. ‘aku ingin menemani sensei…’ –tiba-tiba kalimat itu terucap. Aku segera menutup mulutku dan berharap ia tidak menyadari apa yang kukatakan tadi. Ia menatapku dengan penuh perhatian.



‘kau anak cantik yang membawa peti ikan, kan?’ –ia bertanya padaku dengan tatapan yang tidak biasa. Mendengar pertanyaan itu, pikiranku bercampur jadi satu. Peristiwa beberapa tahun yang lalu kembali muncul. Peristiwa yang selalu ku ingat karena tatapan bola mata hitam itu.



‘kau tidak apa-apa?’ –tangan hangatnya menahanku.

Malaikat, gumamku.

‘kau baik-baik saja?’

Tatapan itu…

Kejadian itu terngiang dikepalaku..



‘kau anak cantik itu kan?’ ia mengulang pertanyaannya dan seketika membuyarkan lamunanku. Aku kembali tersadar. Tidak tau harus mengatakan apa, aku hanya tertunduk. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pipiku, memaksa untuk mengangkat wajahku dan menatapnya.



‘aku adalah orang yang menolongmu agar kau tidak terjatuh’ –wajahnya semakin mendekat, tak ada jarak diantara kami, perlahan ia mengecupku dengan lembut. Tubuhku membeku, diam tak bergeming, melumpuhkan sistem kerja sarafku. Ia menyudahi kecupan itu, dan membelai lembut rambutku.



‘ja..jadi sensei, orang yang telah menolongku waktu itu?’ –Ia hanya tersenyum dan mengangguk. ‘dulu ku pikir usia kita hanya beda dua tahun, tapi sensei…’ aku tak melanjutkan omonganku, aku heran karena seingatku anak yang menolongku beda usianya tidak terpaut jauh.



‘kau benar. Kita hanya beda dua tahun’ jawabnya enteng. ‘ta..tapi kenapa kau bisa mengajar ditempatku?’ –aku semakin bingung. ‘aku ikut program akselerasi, jadi bisa masuk universitas lebih cepat dan karena itu sekarang aku bisa mengajar disekolahmu’ –jelasnya yang membuatku tampak bingung dan tidak percaya.



Dugaanku ternyata benar, ketika kami bertatapan, aku merasa pernah melihat tatapan dari bola mata hitam itu sebelumnya. Ternyata ia memang benar-benar orang yang kucari dan kutunggu-tunggu. Lagi-lagi aku tertunduk diam dan lagi-lagi pula ia mendongakkan wajahku. Wajahku memerah. Ia mengecup lagi bibirku, kali ini aku memejamkan kedua mataku, menikmati sensasi ciuman dari cinta pertamaku. Ia tidak menghiraukan pekerjaannya lagi, ia hanya terfokus padaku, pada ciuman yang ia berikan dibibirku.



============



Keesokan paginya, aku terbangun mendapati diriku tertidur diatas tubuh shinji-sensei yang telanjang dada dan semua kancing piamaku pun ikut terbuka. Wajahku kembali memerah. Saat itu, ia mulai membuka kedua matanya, mengembangkan senyum dan mengucapkan selamat pagi serta mengecup lagi bibirku. Kami segera bersiap-siap untuk kesekolah.



Karena kunci rumahku tertinggal dan paman pasti belum pulang jadi aku memakai seragam sekolah shinji-sensei, untunglah seragamnya sama seperti sekolah SMA pada umumnya.

‘ukurannya pas denganku, terima kasih sensei’ –ia hanya tersenyum dan meneguk cappuchino miliknya. ‘cepat sarapan, setelah itu kita ke sekolah bersama’ –ucapnya sambil menatap ke arah meja makan yang disana tertata roti dengan selai blueberry dan segelas susu yang sepertinya memang sudah satu paket, tanpa berlama-lama aku langsung duduk dan memakan sarapan yang disediakan olehnya selagi aku memakai seragam sekolah miliknya.



‘sensei… terima kasih banyak, maaf aku selalu merepotkanmu’ –untuk sekian kalinya aku berterima kasih pada sensei. ‘ini karena aku mencintaimu, takashi’ –kata-kata itu membuatku seperti tersambar petir dan melemah tak berdaya.

‘disekolah kau boleh memanggilku shinji-sensei tapi jika sudah berada diluar cukup panggil aku, tora’ –ia mengacak-acak rambutku dengan tangannya yang besar. Ia memang selalu berbicara singkat bahkan terdengar tidak peduli, tapi dibalik itu semua ia sangat perhatian dan romantis meski sering membuatku membeku bagaikan es tapi aku senang karena aku bisa bertemu lagi dengan orang yang kucinta sejak dulu. ‘baiklah, kau juga. Cukup panggil aku, saga’ –kulingkari lenganku dilehernya.



Tak bosan aku memandangi wajahnya, melihat senyum manis terukir di wajah tampannya, membuatku ingin memilikinya seutuhnya. Satu malam yang membuat hidupku berubah. Tak menyesal aku ikut dengannya. Disekolah hubungan kami memang guru dan murid, tapi di luar, hubungan kami lebih dari itu…



‘ayo sagachu, kita berangkat…’



~Fin~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar